Kamis, 28 November 2013

What a life

Jadi begini. Setiap hari, sebagai manusia biasa, aku selalu mikirin hidup. Kenapa hidup harus begini, kenapa hidup harus begitu, dan macam-macam kenapa lainnya. Apa menurut Tuhan aku berdosa karena terlalu kepo? Entahlah. Yang pasti aku cuma penasaran. Kok bisa kehidupan berjalan seperti ini.
Aku bukan cuma mempertanyakan hidupku aja. Setiap kali aku lewati lampu merah naik sepeda motor dan lihat anak-anak kecil yang badannya kurus, kumal, dan nggak terawat, aku jadi sedih. Aku jadi ikut mempertanyakan hidup mereka—padahal mungkin mereka aja nggak pernah mikir sampai segitunya. Apalagi kalau anak-anak itu kelihatan ceria dan nggak putus asa berjualan koran, mainan, atau makanan di tengah-tengah kumpulan kendaraan sibuk yang lagi nungguin giliran untuk jalan. Bukannya ikutan ceria, aku malah jadi makin sedih merhatiin mereka. Kalian juga pasti ngerasain hal yang sama, kan? Kalau nggak, mungkin lain kali kalian bisa coba lebih menghidupkan hati nurani. Bukan melulu happy-happy setiap hari.
Balik lagi ke topik tadi. Kenapa hidup harus seperti ini? Yang kaya pengen hidup sederhana asal bahagia, yang miskin pengen hidup jadi orang kaya supaya bahagia. Ya, nggak? Semua keinginan-keinginan itu bertumpu pada satu hal: harta. Yang miskin berangan-angan: "Andai aja aku jadi orang kaya, aku pengen keliling dunia, makan makanan enak setiap hari, belanja baju-baju bermerek, kemana-mana pergi naik mobil, dilayani banyak pembantu, blablablablabla." Padahal, orang kaya juga nggak gitu-gitu amat. Sementara di sisi lain, yang kaya berandai-andai: "Coba aja dulu aku terlahir di keluarga sederhana. Pasti aku bisa hidup lebih bahagia dari sekarang. Nggak perlu menghadapi teman-teman yang bermuka banyak dan berteman cuma buat status sosial, nggak perlu menghadapi hidup yang palsu, nggak perlu jadi seseorang yang bukan diriku sendiri, blablablablabla." Dia belum tahu, kalau orang yang nggak kuat dengan kehidupan miskin juga bisa jadi gampang naik darah dan jadi makin nggak menghargai hidup.

Nah, so have you got the point here? Intinya adalah, seringkali manusia mengeluhkan hidupnya sendiri, dan lebih memilih untuk mendambakan kehidupan lain yang sebenernya nggak mereka kenal. Kehidupan nggak dikenal yang mereka pikir lebih baik, lebih menyenangkan. Padahal, ya akhirnya semua bakal terasa sama aja. Karena apa? Karena kalau kita udah mulai mengeluhkan hidup, itu berarti masalah bukan terletak di kehidupan ini sendiri, tapi ada di kita.

Buktinya, banyak orang yang menikmati hidup mereka. Mau itu hidup miskin atau kaya. Dan orang-orang yang terlalu sering mengeluhkan hidup nggak lebih baik dari mereka yang "salah" menjalani hidup. Kata "salah"-nya pakai tanda petik, nih, soalnya kita juga nggak punya pedoman yang kuat buat mengukur salah-benarnya hidup. Cuma Tuhan yang bisa menilai, kan?

Ah, udah deh. Kelamaan ngomong ngalor-ngidul, nanti lama-lama jadi kloningannya Marjo Teguh, lagi.

Apa sebenernya yang bikin aku tersulut buat nulis ini semua? Cuma satu: mau pamerin tulisan dalam gambar yang baru aku bikin. Hehehehehehe...

Yasutralah, guys. Intinya adalah, nikmati hidup apa adanya, oke?! *ngomong di depan cermin* Dan selalu ingat pepatah "Life has its ups and downs". Ga melulu sedih, karena suatu saat pasti akan ada kebahagiaan yang datang. Tapi, memang butuh kesabaran ekstra. Karena hidup itu seperti film, hanya saja tanpa happy ending di menit ke-100. Betul, tak? *sekali lagi, ngomong di depan cermin*

Tidak ada komentar:

Posting Komentar